-->

logo

MENU

Budaya Unik Suku Mosuo di China Bebas Pilih Pasangan dan Jalani Hubungan Bebas

Budaya Unik Suku Mosuo di China Bebas Pilih Pasangan dan Jalani Hubungan Bebas



Semenjak dahulu, kesetaraan antara wanita serta pria kerap kali diperdebatkan. Di bermacam negara termasuk Indonesia, wanita sering diperlakukan tidak adil. Banyak wanita yang tidak dapat mempunyai peluang yang sama dengan pria dalam memastikan garis hidup. 

Urusan memilah pendamping, memastikan pembelajaran, mencapai impian, sampai metode berpakaian wanita kerap kali dibatasi oleh budaya serta aturan- aturan tertentu. Sehingga wanita tidak dapat leluasa maju serta menempuh kehidupan sesuai dengan kemauan mereka.

Namun budaya patriarki ini tidak terjalin sama sekali di kehidupan Suku Mosuo, suatu suku yang terletak di kaki gunung Himalaya, lembah Yunnan, Barat Daya Cina. Mereka menempuh pola hidup matriarki ataupun dominasi wanita dalam bermacam perihal. Sistem matriarki ini membuat Suku Mosuo dijuluki bagaikan Kerajaan Wanita.

Wanita Suku Mosuo. Gambar: Wikimedia Commons
Di kehidupan suku Mosuo, para wanita betul- betul memperoleh peluang yang setara dengan para laki- laki. Wanita diperbolehkan jadi kepala keluarga, bekerja, memilah pendampingnya sendiri, serta tidak bakal dihakimi bila mempunyai anak tanpa wajib menikah.

Tidak cuma itu, wanita Mosuo pula memiliki hak buat jadi ahli waris dari kekayaan keluarga, bertani, serta melaksanakan pekerjaan lain yang biasanya dilakukan oleh laki- laki, kayak membajak serta membangun, dan membetulkan rumah.

Tidak menikah serta leluasa menempuh ikatan dengan laki- laki yang disukai

Tidak hanya dapat melaksanakan bermacam aktivitas yang setara dengan pria, salah satu yang ini dari kehidupan wanita Mosuo ini merupakan mereka mempunyai kuasa buat memilah pria yang mereka suka buat dijadikan pendamping. 
                                                                       Gambar: Wikimedia Commons
Mereka bahkan tidak butuh menjalani perkawinan serta leluasa tidur dengan laki- laki manapun yang mereka suka.

Semua ini dicoba tanpa jalinan formal perkawinan. Bisa jadi jika di masa modern semacam saat ini, ikatan tanpa jalinan perkawinan ini kerap disebut dengan open relationship, di mana baik wanita ataupun pria tidak mempunyai keharusan buat bermonogami ataupun berhubungan dengan satu pendamping saja.

Disaat telah dianggap dewasa, yakni pada saat menginjak umur 12 hingga 14 tahun, wanita Mosuo akan diberikan upacara spesial buat menyongsong kehidupan dewasa mereka. Pada saat itu, wanita Mosuo akan diberikan kamar sendiri, terutama disaat mereka telah dianggap dewasa secara seksual. 
                                                                        Gambar: Wikimedia Commons
Keistimewaan ini tidak didapatkan oleh laki- laki Mosuo. Selanjutnya, mereka diperbolehkan mengajak laki- laki manapun yang disukai buat berhubungan seks dengan mereka.

Laki- laki Mosuo yang terpilih wajib menjajaki peraturan disaat mendatangi calon pasangan cinta satu malamnya. Mereka wajib melaksanakan ritual tisese. Antropolog Cai Hua dalam bukunya A Society Without Fathers Or Husbands: The Na of Cina berkata kalau tisese merupakan kunjungan sembunyi- sembunyi ataupun tertutup. 

Maksudnya, kedua pasangan yang berhubungan tidak perlu memberikan penjelasan pada publik tentang status ikatan keduanya. Karena hal tersebut telah jadi tradisi untuk wanita serta laki- laki Mosuo.

Uniknya, meski wanita Mosuo diizinkan untuk berganti pasangan kapanpun, mereka juga dapat berhubungan intim dengan satu orang laki- laki saja. Bila telah begitu, berarti pasangan tersebut akan menempuh walking marriage ataupun perkawinan berjalan yang bersifat jangka panjang. Di mana satu wanita sanggup hamil beberapa kali dengan laki- laki yang sama.

Namun pada saat anak- anaknya telah lahir, hak asuh serta tanggung jawab secara penuh diberikan kepada si wanita serta keluarganya. Para laki- laki sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab apapun atas anak- anaknya. Mereka tidak butuh menafkahi, tinggal bersama, ataupun mendidik anaknya.
                                                                     Gambar: Wikimedia Commons
Saking terbukanya pemikiran warga Mosuo, mereka tidak bakal menghakimi seandainya seorang anak tidak mengetahui siapa bapak kandungnya. Karena perihal itu telah jadi tradisi serta hal yang sangat normal.

Budaya mulai tergerus masa modern

Tetapi menurut National Geographic, bersamaan berjalannya waktu, perkembangan teknologi serta modernisasi jaman mulai menggerus kebudayaan Suku Mosuo. Terutama pada 20 tahunan terakhir.

Hal ini disinyalir terjadi sebab warga Mosuo sangat membuka diri pada orang- orang asing yang menjadikan desa mereka bagaikan destinasi wisata ataupun tempat riset kebudayaan. Kemauan masyarakan Suku Mosuo untuk mendapatkan pendapatan dari tourism membuat mereka secara lambat- laun kehilangan budayanya.
Teknologi yang masuk membuat pemuda- pemudi Suku Mosuo jadi melihat dunia luar. Peristiwa tersebut membuat mereka menyadari kalau kehidupan yang mereka lakukan sangat berbeda dengan di wilayah lain.

Walhasil, para pemuda mulai mencari metode buat dapat keluar dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka kemudian mencari pekerjaan di luar daerah bahkan menikah dengan wanita ataupun laki- laki yang bukan berasal dari Suku Mosuo. 

Artikel Lainnya